Latest Stories

Subscription

You can subscribe to Red Carpet by e-mail address to receive news and updates directly in your inbox. Simply enter your e-mail below and click Sign Up!

TOP 5 Most Popular Post

Recently Comments


News

News

ARTON KOGOYA: DI TEMBAK OKNUM  TNI DIWAMENA, FOTO SAAT OTOPSI RUMAH SAKIT WAMENA

seorang masyarakat sipil di Wamena, Papua, Arton Kogoya (27 tahun), berprofesi sebagai Mantri Kesehatan di Desa Lelam, Distrik Gapura, Kabupaten Lany Jaya terkena tembakan yang dilepaskan oknum anggota TNI. Insiden itu terjadi, Sabtu (11/5) sekitar pukul 22.34 WIT. 
Kapendam Kodam XVII Cenderawasih, Kolonel Infantri Jansen Simanjuntak membenarkan terjadinya peristiwa tersebut. Ia mengatakan, kronologis kejadian bermula dimana tiga orang anggota TNI dari Batalyon Infantri 756 Wamena yakni Serda Agus yang juga Wadan Pos Napua, Pratu Sitanggang dan Prada Haryono pergi ke pasar Sinakma Wamena untuk membeli makan di warung Wonogiri dengan menggunakan dua motor dan berpakaian preman serta membawa senjata. 

“Ketika ketiga anggota tersebut akan kembali ke pos, ditengah perjalanan mereka dicegat oleh masyarakat yang mabuk. Anggota TNI itu lalu menyuruh masyarakat yang mabuk agar pulang, namun mereka tidak mengindahkan,” kata Jansen, Minggu (12/5).


Menurutnya, lalu terjadilah pertengkaran mulut dan perkelahian antar anggota TNI dengan masyarakat tersebut. Namun karena terdesak anggota itu melarikan diri  minta bantuan ke anggota lainnya. 

“Lalu datanglah tujuh orang anggota untuk membantu. Setelah itu  mereka mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak enam kali. Namun karena terdesak para anggota TNI itu melarikan diri ke arah Kodim 1702 Jayawijaya sambil mengeluarkan tembakan beberapa kali,” ujarnya. 

Dikatakan, maksud anggota TNI mengeluarkan tembakan untuk mencegah agar masyarakat berhenti mengejar mereka. Akibat dari penembakan itu, salah seorang masyarakat terkena peluru. 

“Luka yang terdapat di tubuh korban yaitu peluru mengenai rusuk sebelah kiri tembus ke kanan, paha sebelah kiri dan betis sebelah kanan. Saat ini kasus tersebut sedang di proses penyelidikan,” kata Jansen.


Berikut beberapa keterangan saksi mata yang dihimpun Jubi, terkait penembakan yang dilakukan oleh enam anggota Batalion756 Wimane Sili, Wamena. 

Identitas Korban: 
Nama         : Arton Kogoya 
Umur         : 26 Tahun 
Alamat         : Jln Yos Sudarso RT 01/RW 06 Distrik Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya 
Agama         : Kristen Protestan 
Status         : Nikah 
Istri         : 1 orang 
Anak         : 2 (Perempuan) 
Suku         : Lani Papua 

Arton Kogoya adalah Kader Kesehatan gereja di pos Lelam, Kampung Lelam, Distrik Maki Kabupaten Lani Jaya dan Majelis di Gereja Yilan. 

Saksi  I 
“Saya dari arah Sinakma sedang dorong motor ke arah kota. Sedangkan korban berjalan dari arah Sinakma. Samapi di depan Warnet Rafi, korban bertemu dengan 6 orang anggota TNI dan satu anak dari anggota TNI. Korban yang sedang dalam keadaan mabuk berkata kepada anggota TNI itu, “ Kamu dari mana, kamu mau kemana?” sambil bergaya menantang dan mau memukul  6 anggota TNI itu. Keenam anggota TNI bersama 1 anak dari anggota kemudian mencabut sangkur dan mulai mengurung korban. Karena situasinya terlihat seakan anggota TNI mau menikam korban maka saya dan teman saya menarik korban dan menyuruhnya pulang. Saya yang membawa korban ke rumahnya di Lorong Mata Air. Namun tak sampai dirumahnya. Saya suruh korban pulang dan saya kembali ke jalan utama, jalan Yos Sudarso karena motor saya ada di situ. Saya pikir korban pulang ke rumah. Ternyata tidak, dia kembali lagi ke jalan Yos Sudarso. Saya melihat anggota TNI datang dengan senjata lengkap, jadi saya balik. Sementara saya sedang mendorong korban ke lorong mata air dan menyuruhnya lari, salah satu anggota TNI melihat kami. Anggota TNI ini berteriak, “oh dia ada disana”.  Saya terus mendorong korban untuk lari hingga korban lari ke arah rumah dan saya tetap berdiri di jalan Yos Sudarso. Anggota TNI yang kejar korban itu 4 orang pegang senjata dan 2 orang tidak pegang senjata,  tidak lama kemudian saya dengar bunyi tembakan sebanyak 6 kali.” 

Saksi II 
“Saya  biasa main di warnet dari jam 06:00-09:30 malam. Saya lihat ada dua orang anggota TNI yang keluar dari warnet karena ada informasi dari pemilik warnet bahwa ada orang bikin ribut di depan warnetnya. Saya juga keluar. Di luar saya lihat, 6 orang anggota TNI dan 1 orang anak TNI pegang sangkur sedang mengurung korban. Mereka seperti akan menikam korban namun tampak ragu-ragu, karena korban pegang pisau dan batu. Saya bilang kepada anak tentara itu yang bernama Canggi dan 6 anggota TNI untuk menghentikan aksi mereka. Saya dan seorang teman kemudian menarik korban. Teman saya lalu mengajak  korban pulang ke rumah korban. Setelah itu, salah satu anggota tersebut menyuruh saya untuk angkat motor yang ada di pinggir jalan. Saya mendengar salah satu anggota batalion (anggota TNI) bilang hendak ambil senjata di Kodim. Lalu tiga motor berjalan ke Kodim untuk ambil senjata. Satu anggota lainnya menelpon teman-teman mereka di pos Napua. Saya kembali ke dalam warnet lagi. Tidak lama kemudian saya dengar bunyi tembakan 6 kali.” 

Saksi III 
“Saya melihat di samping rumah Bapak Yenis Wenda,  aparat (anggota TNI) sedang mengejar korban. Mereka menembak korban di kakinya. Namun korban mengambil batu untuk membalas. Anggota menembak lagi. Tembakan kedua ini mengenai tangan korban hingga tembus ke dada korban. Anggota TNI yang menembak korban masih terus mengejar korban yang berlari ke arah rumahnya. Sampai di depan rumahnya, korban terjatuh dan meninggal. Melihat korban jatuh, para anggota berlari ke arah jalan Yos Sudarso. Masyarakat mengejar keenam anggota TNI ini. Tapi mereka semua kabur dengan motor mereka. Satu motor tak sempat mereka kendarai.
Saat masyarakat melihat korban tewas, sekitar 15 orang mengejar pelaku- pelaku penembakan itu. Tapi mereka tidak bisa menemukan pelaku-pelaku tersebut karena mereka melarikan diri ke Kodim 1702 Jayawijaya. Saya mau keluar tapi karena takut, saya tidak keluar. Tak lama kemudian 3 orang datang angkat korban dan kami yang antar ke RSUD Wamena jam 22:00, Minggu, 12-05- 2013. Saat dokter Santy melihat kondisi korban,  dokter menjelaskan kepada keluarga korban bahwa korban terkena benda tumpul.” 

Saksi IV 
“Waktu malam penembakan itu saya di depan jalan Yos Sudarso, tepat di jalan masuk Gang Mata Air. Ada satu anggota TNI yang sambil berdiri di jalan masuk Gang menelpon teman-temannya dan berkata : “Itu sudah bunyi tembakan. Jadi kalau sebentar masyarakat menyerang keluar kamu siap-siap supaya kita serang dari arah atas (arah sinakma) dan dari Kodim kamu siap-siap saja.” Saya sempat dengar sendiri dan saya menghindar ke arah rumah warga samping gang situ. Tidak lama 
kemudian tentara yang kejar korban itu lari keluar mengendarai motor mereka ke arah Kodim.” 

Keluarga korban: 
“Kami di rumah sakit. Karena alat ronsent tidak ada maka kami antar korban ke Apotik Baliem untuk ronsent. 
Keluarga  minta ke dokter untuk diotopsi.  Tapi kata dokter Santy, ada prosedur yang mengharuskan adanya surat keterangan tertulis dari keluarga korban, jika hendak diotopsi. Kami, pihak keluarga kemudian menandatangani surat untuk melakukan atopsi. Atopsi yang pertama tidak menemukan timah panas sehingga keluarga korban mengijinkan dokter membedah tubuh korban dari dada sampai perut. Tapi tetap hasilnya tidak ditemukan juga proyektil peluru. Maka kami menyuruh dokter menjahit tubuh korban untuk melakukan pemakaman.” 

Penjelasan Dandin 1702 dan Danyon 756 Wimane Sili pada hari Minggu, 12 mei 2013 di halaman Polres Jayawijaya. 

Danyon Batalion 756 WMS 
“Atas nama pimpinan batalion Wimane  Sili, saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas tindakan anggota saya. Yang jelas anggota kami sudah salah. Maka kami akan mengambil tindakan tegas dan memproses hukum. Sekali lagi saya secara pribadi dan institusi mohon maaf kepada seluruh masyarakat dan keluarga korban.” 

Dandim 1702 
“Saya akan menjelaskan kronologis kejadian. Kejadian sekitar jam 08:00 anggota kami berada di warnet. Kemudian korban dalam keadaan mabuk menyerang duluan ke anggota kami dan anggota kami ada yang kena. Maka untuk menyelamatkan diri, anggota kami melakukan penembakan 2 (dua) kali. Tembakan pertama, anggota kami menembak ke arah aspal. Pantulan peluru dari aspal kena kaki dan tembakan ke dua kena dada kiri. Maka kami akan memproses hukum dan pelaku sudah kami tahan untuk proses hukum. “ (Jubi/Benny Mawel) 


SUMBER: JUBI

Posted in: | Rabu, 15 Mei 2013
Brimob siap siaga kotaraja Jayapura Papua
Tak bisa di hituang  kekerasan yang di lakukan oleh TNI-Polri  diseluruh Tanah Papua terus terjadi dari tahun berganti tahun,yang berawal dari tanggal 19 desember 1961,ditamba Tahun sebelumnya kekerasan pun terus berlanjut bulan berganti bulan hingga tahun berganti tahun pun hal ini masih terus terjadi

kekerasan pun terus berlanjut tak  ada hentinya pada tanggal 1 mei 1963 sampai pada saat ini  50 Tahun Aneksasi Papua oleh Indonesia pada 1 Mei 2013 di Tanah Papua diwarnai dengan aksi represif aparat Militer Indonesia yang melakukan penembakan kepada rakyat sipil di Kabupaten Sorong dan Biak Numfor.
Penembakan tersebut mengakibatkan , Abner Malagawak  (22 tahun) warga Distrik Makbon, Kabupaten Sorong tertembak dibagian ketiak kiri tembus kanan. Akhirnya, Abner tewas ditempat. Selanjutnya, Thomas Blesia (28 tahun), warga Distrik Sakouw, Kabupaten Sorong Selatan, tewas terkena timah panas di kepala bagian belakang tembus depan. Saat ini kedua korban masih berada di rumah mereka masing-masing yakni Distrik Makbon, Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan.
Tak hanya Abner dan Thomas yang tewas terkena tembakan,  tiga warga lainnya mengalami luka-luka. Mereka adalah Salomina Klaivin (37 tahun), warga Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Herman Lokden  (18 tahun) warga kampung Wulek, Kabupaten Sorong Selatan, dan Andreas Sapisa (32 tahun) warga Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Salomina Klaivin, luka-luka karena tertembak di perut, paha bagian kanan, dan dilengan bagian kanan. Herman Lokden mengalami luka-luka kerena tertembakan di betis kanan tembus sebelah. Selanjutnya, Andreas Sapisa mengalami luka di bagian ibu jari kaki kanan akibat terkena peluru panas.
Peristiwa penembakan yang sama juga terjadi di Kabupaten Biak Numfor, tepatnya pada pagi hari 1 Mei 2013 di jalan Bosnik, seorang warga asal Kampung Biawer Dwar asal Biak Utara yang bernama Yance Wamaer (30an tahun), juga diketahui meninggal akibat timah panas aparat militer Indonesia yang melakukan penyisiran setelah membubarkan secara paksa peringatan 50 Tahun Aneksasi yang dilaksanankan di Kampung Ibdi.
 Dari peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat militer Indonesia terhadap rakyat Papua,selanjutnya tak satupun kasus kekerasan pembunuhan hingga pemerkosan tak pernah di usut tuntas yang katanya negara hukum.

Kepala Negara SBY
Dan anehnya lagi Seorang kepala Negara pun ikutan memikul senjata,pada hal kepala negara harus mematuhi Undang-undang 1945 Pembukaan UUD 45:

Bahwa sesunggunya kemerdekaan itu ialah hak segala bengsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,


Rakyat Papua belum dan sama sekali menjajah bangsa indonesia.
 (By Peuumabipai)

Posted in: |


Jayapura – Terkait tindakan aparat keamanan di Tanah Papua yang kadang bertindak arogan terhadap kegiatan Papua merdeka, maka perlu adanya pendekatan represif, bukan kekerasan hingga tembak mati. 
Demikian disampaikan Anggota DPR RI, Diaz Gwijangge ke tabloidjubi.com, di Jayapura, Minggu (12/5). Diaz menyesali tindakan aparat keamanan yang menembak mati warga Papua saat perayaan kemerdekaan bangsa Papua tanggal 1 Mei lalu di Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat.“Aparat keamanan di Papua sudah mengetahui persoalan Papua merdeka dan persaoalan apa saja, dan demonstrasi sudah mengerti, namun dalam Penangananan sering dibawa masalah pribadi. Seharusnya, melihat persoalan dari sistem hukum yang berlaku, tanpa menembak mati warga Papua,” ujar Anggota DPR  RI, Diaz Gwijangge. 
Diaz menilai, misalnya orang kasih naik bendera Bintang Kejora, seharusnya di proses dan tidak melawan  prosedur yang ada, kecuali  mengancam maka harus ditembak di kaki bukan di kepala. “Akan tetapi, yang terjadi rakyat hanya kumpul-kumpul atau rapat -rapat, lansung saja di datangi dan ditembak mati, hal ini sangat tidak manusiawi. Karena itu, aparat stop tembak rakyat Papua,” nilainya. 
Dikatakan, kalau mau menyelesaikan masalah, maka aparat sebagai  perpanjangan tangan dari pemerintah, jangan diselesaikan secara ganas dan marah, tetapi harus mengambilndata dan dilaporkan dilaporkan secara menyeluruh.  “Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2012, telah menyampaikan penyelesaian masalah Papua lewat pendekatan kesejahteraan dan dialogis, sehingga hal ini harus juga direalisasikan oleh aparat keamanan dan pemerintah di daerah,” ucap Diaz Gwijangge, yang masuk DPR – RI melalui Partai Demokrat utusan Papua.
“Persoalan ini bukan baru kali in terjadi, tetapi dari tahun ke tahun. Disamping itu, jika terus menembak rakyat Papua, bukan berarti menyelesaikan masalah Papua. Jadi, bukan tembak orang lalu selesai, justru itu menananmkan rasa nasionalisme Papua dan ketidakpercayan rakyat terhadap pemerintah,” katanya. 
Dirinya meminta, agar aparat keamanan di Papua tidak selalu panik dengan menggelar pasukan yang begitu banyak menghadapi rakyat Papua serta sudah seharusnya sadar dan bertindak secara baik. “Sebab, kalau demikian terus rakyat di tembak, secara tidak lansung berarti terjadi pembunuhan sistematis dan mengakibatkan devopopulasi atau pengurangan etnis secara perlahan, hal ini jangan terjadi lagi,” tuturnya. 
Ditambahkan, jika di lihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, rakyat Papua tidak pernah melawan atau balas dendam, sehingga pemerintah seharusnya malu. “Jumlah penduduk orang Papua tidak pernah baik, ini berarti kelihatan dan tidak kelihatann telah terjadi devopopulasi atau pengurangan penduduk, sebabnya dalam berbagai alasan apapun tidak dibenarkan menembak rakyat,” tandasnya. (Jubi/Eveerth)

Sumber : www.tabloidjubi.com
Posted in: |

Berawal dari keributan di arena permainan billiard di lokasi tambang emas Desa Nomowodide.

Brimob dengan atribut lengkap
Penembakan oknum pasukan Brimob terhadap warga sipil kembali terjadi di Papua. Kali ini di wilayah pendulangan emas, Desa Nomowodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Selasa 15 Mei sekitar pukul 20.00 WIT. Lima warga tertembak dan dua di antaranya dalam kondisi kritis.

Dari informasi yang berhasil dihimpun, penembakan berawal ketika pasukan Brimob mendatangi sebuah tempat permainan billiard di lokasi tambang emas tersebut. Lalu terlibat cekcok dengan kelima warga, yang berujung dengan aksi penembakan.

Kapolres Paniai, AKBP Anton Diance saat dikonfirmasi, Rabu 16 Mei membenarkan adanya penembakan itu. "Ada lima warga yang ditembak, karena membuat keonaran dan berupaya merebut senjata milik Brimob," kata dia.

Menurut Kapolres, kejadian bermula ketika 5 warga mendatangi tempat permainan billiard milik Yona. Saat itu meja penuh dipakai, tapi kelima warga itu malah memaksa main. "Mereka memaksa sambil marah-marah dan mengancam pemilik billiard,"ucapnya.

Lantas, karena melihat sikap kelima orang itu, bisa mengundang keonaran, pemilik billiard mendatangi Pos Brimob untuk meminta tolong mereka. Dan tiga anggota Brimob kemudian menuju tempat billiard. "Tiga anggota masing-masing  atas nama Briptu Ferianto Pala, Bripda Agus dan Bripda Edi  mendatangi TKP menindaklanjuti laporan pemilik billiard,"jelasnya.

Ketiga anggota itu lalu menegur kelima warga agar tidak membuat keributan, sambil mengarahkan masyarakat yang berkerumun untuk membubarkan diri. "Namun, di saat bersamaan  Briptu Ferianto Pala yang saat itu menghadap ke arah kerumunan massa, tiba-tiba dipukul dengan menggunakan tongkat. Karena dipukul dengan keras  anggota tersebut jatuh, di saat bersamaan kelima warga berupaya merebut senjatanya,"ucapnya.

Warga yang berupaya merampas senjata anggota bernama  Melianus Kegepe. Melihat kondisi itu maka Bripda Edy mengeluarkan tembakan hingga mengenai pinggang korban. "Tapi, Sesaat setelah bunyi letusan itu, warga lain atas nama Lukas  mengejar Bripda Edy sambil memegang pisau dan hendak  menikam, merasa terdesak Bripda Edy mengeluarkan letusan dan mengenai perut korban,"papar Kapolres.

Kondisi itu membuat suasana semakin kisruh, tiga warga lain yang berupaya membela temannya yang ditembak, berusaha mengejar anggota yang menembak. Lalu anggota kemudian menembak mereka. "Suasana menjadi ribut dan diperkirakan peristiwa ini direncanakan, dengan tujuan memancing anggota, "ujar Kapolres.

Sementara ini, kata dia, warga yang kondisinya kritis akan segera diterbangkan ke Nabire. "Kami sedang tunggu pesawat, untuk mengevakuasi korban yang kritis, ke RS di Nabire,"tandasnya.

Seluruh anggota polisi juga diminta untuk tidak mudah terpancing, jika ada kelompok-kelompok yang ingin membuat keributan. "Kami telah arahkan agar anggota yang berada di lokasi untuk tetap mengendalikan emosi jangan mudah mengeluarkan tembakan, karena dampaknya akan berakibat buruk dan merugikan orang lain," tukasnya.

Daftar nama warga yang ditembak:
1. Melianus Kegepe luka tembak di bagian pinggang samping tembus.

2. "Lukas Kegepe luka tembak pada bagian perut tembus.

3. Amos Kegepe luka tembak pada kaki kiri dan kanan.

4. Alpius Kegepe, luka tembak lengan kanan.

5. Satu orang belum diketahui identitasnya informasinya luka terserempet pada bagian dada.  

 Sumber : http://nasional.vivanews.com

Posted in: |
Beberapa elemen yang tergabung dalam
Solidariotas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth)
Jayapura — Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, menyatakan aksi Senin, t 13 Mei 2013 adalah murni menuntut keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bumi Cenderawasih. Namun aksi ini dilarang oleh aparat Kepolisian. 
Seperti diketahui sebelumnya, Aksi Peringatan 1 Mei 2013 yang oleh Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat. 
Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia (TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong, Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika. 
“Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1963 silam, Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu, otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat,” ujar Wim Rocky Medlama, selaku Juru Bicara KNPB, di Abepura, Rabu(15/5). 
Dijelaskan, pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban. Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam, 30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong. 
“Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka, termasuk dua orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka,” jelasnya. 
Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada salah satu rumah sakit di Sorong. 
“Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura. Pertemuan koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi peristiwa berdarah yang terjadi di Aimas Sorong,” paparnya. 
Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas peduli HAM. 
“Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua,” katanya. 
Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, katanya, guna memuluskan rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura. Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei. 
Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari perwakilan West Papua National Autority (WPNA).
Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi solidaritas. 
Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu menghubungi via phone dan meminta perwakilan penanggung jawab aksi untuk dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar. 
Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki. 
Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang Direktur Intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar. 
“Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol. Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat (kantibmas),” ucapnya. 
Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda Papua dan Polresta Jayapura itu disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua menjadi korban. 
Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar dan tidak bisa diterima. Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. 
Menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong itu terindikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen demikian, Direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei 2013. 
Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka masing-masing. 
Selain itu, Direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit. 
Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013. 
Namun, Direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijinkan dan menghendaki aksi itu dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi beserta massa yang terlibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi, termasuk konsekuensi hukumnya. (Jubi/Eveerth)

Posted in: , |