![]() |
ARTON KOGOYA: DI TEMBAK OKNUM TNI DIWAMENA, FOTO SAAT OTOPSI RUMAH SAKIT WAMENA |
seorang
masyarakat sipil di Wamena, Papua, Arton Kogoya (27 tahun), berprofesi
sebagai Mantri Kesehatan di Desa Lelam, Distrik Gapura, Kabupaten Lany
Jaya terkena tembakan yang dilepaskan oknum anggota TNI. Insiden itu
terjadi, Sabtu (11/5) sekitar pukul 22.34 WIT.
Kapendam
Kodam XVII Cenderawasih, Kolonel Infantri Jansen Simanjuntak
membenarkan terjadinya peristiwa tersebut. Ia mengatakan, kronologis
kejadian bermula dimana tiga orang anggota TNI dari Batalyon Infantri
756 Wamena yakni Serda Agus yang juga Wadan Pos Napua, Pratu Sitanggang
dan Prada Haryono pergi ke pasar Sinakma Wamena untuk membeli makan di
warung Wonogiri dengan menggunakan dua motor dan berpakaian preman serta
membawa senjata.
“Ketika
ketiga anggota tersebut akan kembali ke pos, ditengah perjalanan mereka
dicegat oleh masyarakat yang mabuk. Anggota TNI itu lalu menyuruh
masyarakat yang mabuk agar pulang, namun mereka tidak mengindahkan,”
kata Jansen, Minggu (12/5).
Menurutnya,
lalu terjadilah pertengkaran mulut dan perkelahian antar anggota TNI
dengan masyarakat tersebut. Namun karena terdesak anggota itu melarikan
diri minta bantuan ke anggota lainnya.
“Lalu
datanglah tujuh orang anggota untuk membantu. Setelah itu mereka
mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak enam kali. Namun karena
terdesak para anggota TNI itu melarikan diri ke arah Kodim 1702
Jayawijaya sambil mengeluarkan tembakan beberapa kali,” ujarnya.
Dikatakan,
maksud anggota TNI mengeluarkan tembakan untuk mencegah agar masyarakat
berhenti mengejar mereka. Akibat dari penembakan itu, salah seorang
masyarakat terkena peluru.
“Luka
yang terdapat di tubuh korban yaitu peluru mengenai rusuk sebelah kiri
tembus ke kanan, paha sebelah kiri dan betis sebelah kanan. Saat ini
kasus tersebut sedang di proses penyelidikan,” kata Jansen.
Berikut
beberapa keterangan saksi mata yang dihimpun Jubi, terkait penembakan
yang dilakukan oleh enam anggota Batalion756 Wimane Sili, Wamena.
Identitas Korban:
Nama : Arton Kogoya
Umur : 26 Tahun
Alamat : Jln Yos Sudarso RT 01/RW 06 Distrik Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya
Agama : Kristen Protestan
Status : Nikah
Istri : 1 orang
Anak : 2 (Perempuan)
Suku : Lani Papua
Arton
Kogoya adalah Kader Kesehatan gereja di pos Lelam, Kampung Lelam,
Distrik Maki Kabupaten Lani Jaya dan Majelis di Gereja Yilan.
Saksi I
“Saya
dari arah Sinakma sedang dorong motor ke arah kota. Sedangkan korban
berjalan dari arah Sinakma. Samapi di depan Warnet Rafi, korban bertemu
dengan 6 orang anggota TNI dan satu anak dari anggota TNI. Korban yang
sedang dalam keadaan mabuk berkata kepada anggota TNI itu, “ Kamu dari
mana, kamu mau kemana?” sambil bergaya menantang dan mau memukul 6
anggota TNI itu. Keenam anggota TNI bersama 1 anak dari anggota kemudian
mencabut sangkur dan mulai mengurung korban. Karena situasinya terlihat
seakan anggota TNI mau menikam korban maka saya dan teman saya menarik
korban dan menyuruhnya pulang. Saya yang membawa korban ke rumahnya di
Lorong Mata Air. Namun tak sampai dirumahnya. Saya suruh korban pulang
dan saya kembali ke jalan utama, jalan Yos Sudarso karena motor saya ada
di situ. Saya pikir korban pulang ke rumah. Ternyata tidak, dia kembali
lagi ke jalan Yos Sudarso. Saya melihat anggota TNI datang dengan
senjata lengkap, jadi saya balik. Sementara saya sedang mendorong korban
ke lorong mata air dan menyuruhnya lari, salah satu anggota TNI melihat
kami. Anggota TNI ini berteriak, “oh dia ada disana”. Saya terus
mendorong korban untuk lari hingga korban lari ke arah rumah dan saya
tetap berdiri di jalan Yos Sudarso. Anggota TNI yang kejar korban itu 4
orang pegang senjata dan 2 orang tidak pegang senjata, tidak lama
kemudian saya dengar bunyi tembakan sebanyak 6 kali.”
Saksi II
“Saya
biasa main di warnet dari jam 06:00-09:30 malam. Saya lihat ada dua
orang anggota TNI yang keluar dari warnet karena ada informasi dari
pemilik warnet bahwa ada orang bikin ribut di depan warnetnya. Saya juga
keluar. Di luar saya lihat, 6 orang anggota TNI dan 1 orang anak TNI
pegang sangkur sedang mengurung korban. Mereka seperti akan menikam
korban namun tampak ragu-ragu, karena korban pegang pisau dan batu. Saya
bilang kepada anak tentara itu yang bernama Canggi dan 6 anggota TNI
untuk menghentikan aksi mereka. Saya dan seorang teman kemudian menarik
korban. Teman saya lalu mengajak korban pulang ke rumah korban. Setelah
itu, salah satu anggota tersebut menyuruh saya untuk angkat motor yang
ada di pinggir jalan. Saya mendengar salah satu anggota batalion
(anggota TNI) bilang hendak ambil senjata di Kodim. Lalu tiga motor
berjalan ke Kodim untuk ambil senjata. Satu anggota lainnya menelpon
teman-teman mereka di pos Napua. Saya kembali ke dalam warnet lagi.
Tidak lama kemudian saya dengar bunyi tembakan 6 kali.”
Saksi III
“Saya
melihat di samping rumah Bapak Yenis Wenda, aparat (anggota TNI)
sedang mengejar korban. Mereka menembak korban di kakinya. Namun korban
mengambil batu untuk membalas. Anggota menembak lagi. Tembakan kedua ini
mengenai tangan korban hingga tembus ke dada korban. Anggota TNI yang
menembak korban masih terus mengejar korban yang berlari ke arah
rumahnya. Sampai di depan rumahnya, korban terjatuh dan meninggal.
Melihat korban jatuh, para anggota berlari ke arah jalan Yos Sudarso.
Masyarakat mengejar keenam anggota TNI ini. Tapi mereka semua kabur
dengan motor mereka. Satu motor tak sempat mereka kendarai.
Saat
masyarakat melihat korban tewas, sekitar 15 orang mengejar pelaku-
pelaku penembakan itu. Tapi mereka tidak bisa menemukan pelaku-pelaku
tersebut karena mereka melarikan diri ke Kodim 1702 Jayawijaya. Saya mau
keluar tapi karena takut, saya tidak keluar. Tak lama kemudian 3 orang
datang angkat korban dan kami yang antar ke RSUD Wamena jam 22:00,
Minggu, 12-05- 2013. Saat dokter Santy melihat kondisi korban, dokter
menjelaskan kepada keluarga korban bahwa korban terkena benda tumpul.”
Saksi IV
“Waktu
malam penembakan itu saya di depan jalan Yos Sudarso, tepat di jalan
masuk Gang Mata Air. Ada satu anggota TNI yang sambil berdiri di jalan
masuk Gang menelpon teman-temannya dan berkata : “Itu sudah bunyi
tembakan. Jadi kalau sebentar masyarakat menyerang keluar kamu siap-siap
supaya kita serang dari arah atas (arah sinakma) dan dari Kodim kamu
siap-siap saja.” Saya sempat dengar sendiri dan saya menghindar ke arah
rumah warga samping gang situ. Tidak lama
kemudian tentara yang kejar korban itu lari keluar mengendarai motor mereka ke arah Kodim.”
Keluarga korban:
“Kami di rumah sakit. Karena alat ronsent tidak ada maka kami antar korban ke Apotik Baliem untuk ronsent.
Keluarga
minta ke dokter untuk diotopsi. Tapi kata dokter Santy, ada prosedur
yang mengharuskan adanya surat keterangan tertulis dari keluarga korban,
jika hendak diotopsi. Kami, pihak keluarga kemudian menandatangani
surat untuk melakukan atopsi. Atopsi yang pertama tidak menemukan timah
panas sehingga keluarga korban mengijinkan dokter membedah tubuh korban
dari dada sampai perut. Tapi tetap hasilnya tidak ditemukan juga
proyektil peluru. Maka kami menyuruh dokter menjahit tubuh korban untuk
melakukan pemakaman.”
Penjelasan Dandin 1702 dan Danyon 756 Wimane Sili pada hari Minggu, 12 mei 2013 di halaman Polres Jayawijaya.
Danyon Batalion 756 WMS
“Atas
nama pimpinan batalion Wimane Sili, saya minta maaf yang
sebesar-besarnya atas tindakan anggota saya. Yang jelas anggota kami
sudah salah. Maka kami akan mengambil tindakan tegas dan memproses
hukum. Sekali lagi saya secara pribadi dan institusi mohon maaf kepada
seluruh masyarakat dan keluarga korban.”
Dandim 1702
“Saya
akan menjelaskan kronologis kejadian. Kejadian sekitar jam 08:00
anggota kami berada di warnet. Kemudian korban dalam keadaan mabuk
menyerang duluan ke anggota kami dan anggota kami ada yang kena. Maka
untuk menyelamatkan diri, anggota kami melakukan penembakan 2 (dua)
kali. Tembakan pertama, anggota kami menembak ke arah aspal. Pantulan
peluru dari aspal kena kaki dan tembakan ke dua kena dada kiri. Maka
kami akan memproses hukum dan pelaku sudah kami tahan untuk proses
hukum. “ (Jubi/Benny Mawel)
SUMBER: JUBI
Posted in:
Kekerasan
| Rabu, 15 Mei 2013
![]() |
Brimob siap siaga kotaraja Jayapura Papua |
kekerasan pun terus berlanjut tak ada hentinya pada tanggal 1 mei 1963 sampai pada saat ini 50 Tahun Aneksasi Papua oleh Indonesia pada 1 Mei 2013 di Tanah Papua diwarnai dengan aksi represif aparat Militer Indonesia yang melakukan penembakan kepada rakyat sipil di Kabupaten Sorong dan Biak Numfor.

Tak hanya Abner dan Thomas yang tewas terkena tembakan, tiga warga
lainnya mengalami luka-luka. Mereka adalah Salomina Klaivin (37 tahun),
warga Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Herman Lokden (18 tahun) warga
kampung Wulek, Kabupaten Sorong Selatan, dan Andreas Sapisa (32 tahun)
warga Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Salomina Klaivin, luka-luka
karena tertembak di perut, paha bagian kanan, dan dilengan bagian kanan.
Herman Lokden mengalami luka-luka kerena tertembakan di betis kanan
tembus sebelah. Selanjutnya, Andreas Sapisa mengalami luka di bagian ibu
jari kaki kanan akibat terkena peluru panas.
Peristiwa penembakan yang sama juga terjadi di Kabupaten Biak Numfor,
tepatnya pada pagi hari 1 Mei 2013 di jalan Bosnik, seorang warga asal
Kampung Biawer Dwar asal Biak Utara yang bernama Yance Wamaer (30an
tahun), juga diketahui meninggal akibat timah panas aparat militer
Indonesia yang melakukan penyisiran setelah membubarkan secara paksa
peringatan 50 Tahun Aneksasi yang dilaksanankan di Kampung Ibdi.
Dari peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat
militer Indonesia terhadap rakyat Papua,selanjutnya tak satupun kasus kekerasan pembunuhan hingga pemerkosan tak pernah di usut tuntas yang katanya negara hukum.
![]() |
Kepala Negara SBY |
Dan anehnya lagi Seorang kepala Negara pun ikutan memikul senjata,pada hal kepala negara harus mematuhi Undang-undang 1945 Pembukaan UUD 45:
Bahwa sesunggunya kemerdekaan itu ialah hak segala bengsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,
Bahwa sesunggunya kemerdekaan itu ialah hak segala bengsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,
Rakyat Papua belum dan sama sekali menjajah bangsa indonesia.
(By Peuumabipai)
Posted in:
Kekerasan
|

Demikian disampaikan Anggota DPR RI, Diaz Gwijangge ke tabloidjubi.com,
di Jayapura, Minggu (12/5). Diaz menyesali tindakan aparat keamanan yang
menembak mati warga Papua saat perayaan kemerdekaan bangsa Papua
tanggal 1 Mei lalu di Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat.“Aparat
keamanan di Papua sudah mengetahui persoalan Papua merdeka dan
persaoalan apa saja, dan demonstrasi sudah mengerti, namun dalam
Penangananan sering dibawa masalah pribadi. Seharusnya, melihat
persoalan dari sistem hukum yang berlaku, tanpa menembak mati warga
Papua,” ujar Anggota DPR RI, Diaz Gwijangge.
Diaz menilai, misalnya orang kasih naik bendera Bintang Kejora,
seharusnya di proses dan tidak melawan prosedur yang ada, kecuali
mengancam maka harus ditembak di kaki bukan di kepala. “Akan tetapi,
yang terjadi rakyat hanya kumpul-kumpul atau rapat -rapat, lansung saja
di datangi dan ditembak mati, hal ini sangat tidak manusiawi. Karena
itu, aparat stop tembak rakyat Papua,” nilainya.
Dikatakan, kalau mau menyelesaikan masalah, maka aparat sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintah, jangan diselesaikan secara ganas
dan marah, tetapi harus mengambilndata dan dilaporkan dilaporkan secara
menyeluruh. “Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato
kenegaraan tanggal 16 Agustus 2012, telah menyampaikan penyelesaian
masalah Papua lewat pendekatan kesejahteraan dan dialogis, sehingga hal
ini harus juga direalisasikan oleh aparat keamanan dan pemerintah di
daerah,” ucap Diaz Gwijangge, yang masuk DPR – RI melalui Partai
Demokrat utusan Papua.
“Persoalan ini bukan baru kali in terjadi, tetapi dari tahun ke tahun.
Disamping itu, jika terus menembak rakyat Papua, bukan berarti
menyelesaikan masalah Papua. Jadi, bukan tembak orang lalu selesai,
justru itu menananmkan rasa nasionalisme Papua dan ketidakpercayan
rakyat terhadap pemerintah,” katanya.
Dirinya meminta, agar aparat keamanan di Papua tidak selalu panik dengan
menggelar pasukan yang begitu banyak menghadapi rakyat Papua serta
sudah seharusnya sadar dan bertindak secara baik. “Sebab, kalau demikian
terus rakyat di tembak, secara tidak lansung berarti terjadi pembunuhan
sistematis dan mengakibatkan devopopulasi atau pengurangan etnis secara
perlahan, hal ini jangan terjadi lagi,” tuturnya.
Ditambahkan, jika di lihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, rakyat
Papua tidak pernah melawan atau balas dendam, sehingga pemerintah
seharusnya malu. “Jumlah penduduk orang Papua tidak pernah baik, ini
berarti kelihatan dan tidak kelihatann telah terjadi devopopulasi atau
pengurangan penduduk, sebabnya dalam berbagai alasan apapun tidak
dibenarkan menembak rakyat,” tandasnya. (Jubi/Eveerth)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Sumber : www.tabloidjubi.com
Posted in:
Kekerasan
|
Berawal dari keributan di arena permainan billiard di lokasi tambang emas Desa Nomowodide.

Brimob dengan atribut lengkap
Penembakan oknum pasukan Brimob terhadap warga sipil kembali terjadi
di Papua. Kali ini di wilayah pendulangan emas, Desa Nomowodide,
Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Selasa 15 Mei sekitar pukul 20.00
WIT. Lima warga tertembak dan dua di antaranya dalam kondisi kritis.
Dari
informasi yang berhasil dihimpun, penembakan berawal ketika pasukan
Brimob mendatangi sebuah tempat permainan billiard di lokasi tambang
emas tersebut. Lalu terlibat cekcok dengan kelima warga, yang berujung
dengan aksi penembakan.
Kapolres Paniai, AKBP Anton Diance saat
dikonfirmasi, Rabu 16 Mei membenarkan adanya penembakan itu. "Ada lima
warga yang ditembak, karena membuat keonaran dan berupaya merebut
senjata milik Brimob," kata dia.
Menurut Kapolres, kejadian
bermula ketika 5 warga mendatangi tempat permainan billiard milik Yona.
Saat itu meja penuh dipakai, tapi kelima warga itu malah memaksa main.
"Mereka memaksa sambil marah-marah dan mengancam pemilik
billiard,"ucapnya.
Lantas, karena melihat sikap kelima orang itu,
bisa mengundang keonaran, pemilik billiard mendatangi Pos Brimob untuk
meminta tolong mereka. Dan tiga anggota Brimob kemudian menuju tempat
billiard. "Tiga anggota masing-masing atas nama Briptu Ferianto Pala,
Bripda Agus dan Bripda Edi mendatangi TKP menindaklanjuti laporan
pemilik billiard,"jelasnya.
Ketiga anggota itu lalu menegur
kelima warga agar tidak membuat keributan, sambil mengarahkan masyarakat
yang berkerumun untuk membubarkan diri. "Namun, di saat bersamaan
Briptu Ferianto Pala yang saat itu menghadap ke arah kerumunan massa,
tiba-tiba dipukul dengan menggunakan tongkat. Karena dipukul dengan
keras anggota tersebut jatuh, di saat bersamaan kelima warga berupaya
merebut senjatanya,"ucapnya.
Warga yang berupaya merampas senjata
anggota bernama Melianus Kegepe. Melihat kondisi itu maka Bripda Edy
mengeluarkan tembakan hingga mengenai pinggang korban. "Tapi, Sesaat
setelah bunyi letusan itu, warga lain atas nama Lukas mengejar Bripda
Edy sambil memegang pisau dan hendak menikam, merasa terdesak Bripda
Edy mengeluarkan letusan dan mengenai perut korban,"papar Kapolres.
Kondisi
itu membuat suasana semakin kisruh, tiga warga lain yang berupaya
membela temannya yang ditembak, berusaha mengejar anggota yang menembak.
Lalu anggota kemudian menembak mereka. "Suasana menjadi ribut dan
diperkirakan peristiwa ini direncanakan, dengan tujuan memancing
anggota, "ujar Kapolres.
Sementara ini, kata dia, warga yang
kondisinya kritis akan segera diterbangkan ke Nabire. "Kami sedang
tunggu pesawat, untuk mengevakuasi korban yang kritis, ke RS di
Nabire,"tandasnya.
Seluruh anggota polisi juga diminta untuk
tidak mudah terpancing, jika ada kelompok-kelompok yang ingin membuat
keributan. "Kami telah arahkan agar anggota yang berada di lokasi untuk
tetap mengendalikan emosi jangan mudah mengeluarkan tembakan, karena
dampaknya akan berakibat buruk dan merugikan orang lain," tukasnya.
Daftar nama warga yang ditembak:
1. Melianus Kegepe luka tembak di bagian pinggang samping tembus.
2. "Lukas Kegepe luka tembak pada bagian perut tembus.
3. Amos Kegepe luka tembak pada kaki kiri dan kanan.
4. Alpius Kegepe, luka tembak lengan kanan.
5. Satu orang belum diketahui identitasnya informasinya luka terserempet pada bagian dada.

Sumber : http://nasional.vivanews.com
Posted in:
Kekerasan
|
![]() |
Beberapa elemen yang tergabung dalam Solidariotas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth) |
Jayapura — Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) di Papua, menyatakan aksi Senin, t 13 Mei 2013 adalah murni
menuntut keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi
di bumi Cenderawasih. Namun aksi ini dilarang oleh aparat Kepolisian.
Seperti diketahui sebelumnya, Aksi Peringatan 1 Mei 2013 yang oleh
Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah
Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.
Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia
(TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal
terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong,
Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.
“Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang
terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1963 silam,
Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu,
otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat,”
ujar Wim Rocky Medlama, selaku Juru Bicara KNPB, di Abepura,
Rabu(15/5).
Dijelaskan, pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di
Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban.
Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam,
30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga
Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.
“Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka,
termasuk dua orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka
adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas
akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka,” jelasnya.
Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga
tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat
menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada
salah satu rumah sakit di Sorong.
“Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai
wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di
Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para
pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara
berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura. Pertemuan
koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi
peristiwa berdarah yang terjadi di Aimas Sorong,” paparnya.
Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari
sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan
agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas
rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas
peduli HAM.
“Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian
pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya
akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke
kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua,” katanya.
Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, katanya, guna memuluskan
rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu
membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak
Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura.
Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.
Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera
beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi
Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua
Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua
Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari
perwakilan West Papua National Autority (WPNA).
Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi
lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi
solidaritas.
Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak
Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu
menghubungi via phone dan meminta perwakilan penanggung jawab aksi untuk
dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.
Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi
lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota
Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang
Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.
Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang
Direktur Intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka
mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar.
“Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi
solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol.
Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang
dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu
ketenteraman masyarakat (kantibmas),” ucapnya.
Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda
Papua dan Polresta Jayapura itu disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang
dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai
sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua
menjadi korban.
Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda
Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar dan tidak bisa diterima.
Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu
sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong
itu terindikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara
Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen
demikian, Direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar
surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei
2013.
Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor
Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal
sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa
nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka
masing-masing.
Selain itu, Direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas
Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan
menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit
dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu
dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar
menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.
Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason
Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai
kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.
Namun, Direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa
pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijinkan dan menghendaki aksi itu
dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi
beserta massa yang terlibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi,
termasuk konsekuensi hukumnya. (Jubi/Eveerth)
Sumber : www.tabloidjubi.com