Ucapan selamat dari rakyat Papua kepada Perdana Menteri Inggris yang baru, David Cameron (Foto: Dominic Brown) |
PAPUAN, Inggris — Sejak 1 Mei 1963, Pemerintah
Indoensia telah menutup akses untuk aktivis, wartawan asing, dan
diplomat internasional untuk mengunjungi tanah P apua.
Negara mewajibkan siapa saja untuk memiliki sebuah “surat jalan” dari Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta.
Dominic Brown,
salah satu video maker berhasil mengunjungi Papua dengan cara menyamar.
Ia melakukan wawancara dengan berbagai pihak di tanah Papua, termasuk
tokoh terkemuka Organisasi Papua Merdeka (OPM), Goliat Tabuni. Hasilnya,
Video berjudul “Forgotten Bird of Paradise” atau “Cenderawasih Yang Terlupakan” dilaunching pertengahaan tahun 2012 lalu di Inggris.
Wempi Fatubun, Video Makar dari Papuan Voices,
beberapa waktu lalu mendapat kesempatan untuk wawancara langsung
Dominic Brown. Ikuti petikan wawancara secara lengkap dibawah ini :
Kegiatan Terkini Anda?
Saya sementara sedang membuat film documenter yang lumayan panjang
tentang seorang pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda. Saya baru
saja kembali dari perjalanan selama lima minggu bersama-sama dengan
beliau. Ini adalah perjalanan resminya yang pertama kali di luar
Inggris sejak perintah penangkapan atas dirinya yang dikeluarkanoleh
Interpol dicabut.
Kami mengunjungi Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Papua New
Guinea dan Vanuatu. Film documenter ini mengkisahkan tentang kehidupan
Benny Wenda sebagai seorang aktivis, yang memfokuskan diri pada
menjelaskan tentang keadaan di tanah airnya, dan upaya-upaya yang
dilakukannya agar referendum kemerdekaan yang bebas dan adil dapat
dilaksanakan
Ceritakan tentang siapa Anda sebagai seorang pembuat film?
Saya mulai membuat film sesudah saya mengalami hal yang tidak bias
saya lupakan di Papua Barat. Saya mengunjungi tempat itu ketika saya
berusia 21 tahun, dan saya benar-benar terkejut ketika melihat situasi
di sana.
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat bagaimana orang-orang
asli Papua diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua, dan setiap hari
menderita pelanggaran HAM.
Waktu saya kembali ke Inggris dan mencerita kanapa yang terjadi di
Papua Barat kepada teman-temansaya, ternyata belum ada seorang pun yang
pernah mendengar tentang keadaan di Papua. Jadi, saya bertekad, bahwa
pada suatu hari saya akan kembali ke Papua untuk membuat sebuah film dan
membantu semampu saya agar hal-hal yang terjadi disana bisa di
ceritakan keluar.
Saya belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan atau pengeditan film
sebelumnya. Namun, saya pikir hal itu banyak manfaatnya bagi saya,
karena saya bias membuat film semata-mata dari perspektif saya,
ketimbang apabila saya mengikuti pelatihan, dan saya malah diberitahu
tentang hal-hal apa yang harus dan tidak boleh saya lakukan.
Mengapa Anda menggunakan gambar bergerak?
Menurut saya, video adalah media yang sangat handal. Dengan video
Anda bias menangkap momen-momen yang dengan mudah dilupakan apabila
tidak ada video. Dengan gambar bergerak kita bias berbagi cerita dan
memberikan ‘jendela-jendela’ kepada orang lain dan kisah-kisah dari
peristiwan-peristiwa yang mereka alami, yang apabila tidak ada, tidak
akan pernah diketahui oleh orang lain.
Hal-hal apa yang Anda sampaikan dalam karya-karya video Anda?
Semua yang sudah saya kerjakan didasarkan atas pengalaman-pengalaman
saya sendiri, dan terutama pada peristiwa-peristiwa yang paling mutakhir
di seputar keadilan social dan hak-hak azasi manusia.
Tahun lalu saya di Sahara Barat dan membuat sebuah film tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Sahrawi.
Menurut saya, melalui film, kita dapat membuka mata orang lain atas
hal-hal yang mereka belum ketahui, dan sekaligus memberikan inspirasi
kepada mereka agar mereka bertindak. Dengan begitu, Anda sudah
melakukan sesuatu yang sangat berpengaruh.
Saya juga baru saja menyelesaikan sebuah film tentang seorang
laki-laki yang percaya bahwa ia adalah titisan Raja Arthur, seorang
figure mitos Inggris. Ia adalah seorang Inggris yang eksentrik,
sebelumnya bekerja sebagai prajurit Angkatan Darat. Ia juga adalah
seorang veteran aksi-aksi prote sdi jalan raya, dan seorang aktivis
lingkungan
hidup.
hidup.
Anda sudah membuat sejumlah video. Mohon ceritakan kepada kami tentang film”Forfotten Bird of Paradise” dan latar belakangnya?
“Forgotten Bird of Paradise” (Cenderawasih yang Terlupakan)
adalah film pertama yang saya buat. Saya menghabiskan dua bulan untuk
bepergian dengan menyamar di Papua Barat.
Saya berhasil bertemu dengan korban-korban pelanggaran HAM, aktivis
kemerdekaan Papua, dan sejumlah anggota perjuangan bersenjata. Film itu
diterima dengan baik, memperoleh penghargaan sebagai Film Dokumenter
Terbaik di Festival Film Dam Short, dan dipertunjukkan di festival-festival film yang lain, termasuk Raindance. Film itu juga diputar di program berita terkini “BBC Newsnight” di Inggris.
Bagaimana Anda melihat pengaruh distribusi online (melalui
internet) terhadap pembuatan video independen? Bagaimana Anda
menggunakan alat-alat bantu online dalam pekerjaan Anda?
Dewasa ini, segala sesuatu di-online/internet-kan.Youtube, Vimeo,
Twitter dan Facebook adalah ‘panggung’; yang saya gunakan, dan sudah
barang tentu situs (website) saya.
Teknologi digital telah membuka kesempatan yang benar-benar luas.
Apabila Anda bias mempromosikan sebuah film dengan baik, film itu dengan
cepat bias ditonton oleh ribuan orang.
Ada banyak video seperti itu. Menurut pendapat saya, kuncinya adalah
membuat video yang isinya menyentuh emosi orang lain, dan membuat mereka
untuk bertindak.
============================================================================================
Terjemahan wawancara ini dilakukan seakurat mungkin oleh Martyr Papua. Sudah mendapat izin, bahkan telah diperiksa langsung oleh si pewawancara.
0 komentar for "Wawancara Dengan Dominic Brown, Pembuat Film “Forgotten Bird of Paradise”"